Wednesday, December 17, 2008

ATELIR SENI

Hidupku mengalir dipenuhi serabut seni
akar akar diri yang begitu tinggi
di atelir, tempat aku selalu mengukir karya
meresap begitu indah dalam kalbu
menggoreskan pahatan kata kata yang artistik
membentuk diri dan akal seni
tempat dimana dalam rasa,
angan dan asa yang membumbung tinggi
menyimpan semua ekspresi hati, ungkapan
yang tertera begitu ritmis di sendi sendi nurani
serasa berada di rongga imaji
yang gemanya memantul ke seluruh diri

SETENGAH HATI

Aku turuti kemauanmu
walau dengan enggan mengamuk kalbu
terasa hambar jika denganmu
hanya mengulang cerita lama
yang tak akan pernah selesai
aku turuti keinginanmu
walau dengan setengah hati
termakan derita yang tak kunjung usai
lewat ungu matamu
yang menatapku memaku
aku turuti kemauanmu
walau dengan hati membatu
seperti ketika aku mengingatmu
hanya dengan hati yang bisu

SEPERTIGA MALAM

Aku terbangun pada sepertiga malam, dengan sendirinya
Aku lihat sekeliling kamar yang gelap gulita
Nampak tenang dan damai
Langit lazuardi masih belum ada
Ditutupi kegelapan sisa tadi malam
Namun kokok ayam jantan telah terdengar sayup sayup
Di kejauhan
Mengiringi kuak burung malam
Yang sesekali terdengar nyaring di kegelapan
Aku refleks bangun dan menikmati udara malam
Merasakan kuasa Tuhan dan pesona bintang gemintang

SEBUAH PULAU DI SEBERANG

Pada sebuah kapal nan sunyi
Seluruh awak kapal pada menanti
Di kelam malam yang sepi
Debur ombak merintangi
Semua orang pada menunggu
Derum mesin dan kerlip bintang
Juga bisa menyaksikan
Kali ini....Tak seorangpun bicara
Hanya desah dan gumam kecil
Lautan ini sangat luas
Langit juga luas
Tapi hanya satu yang paling luas
Luas harapan luas impian
Perjalanan ini hampir selesai
Mata kami sudah tampak
Sebuah pulau di seberang

SALJU

Dalam pagi berkabut sunyi itu
Aku melihat salju jatuh di hamparan tanah
Mengisar terserak di jalan setapak
Terjun bebas melayang di ranting pohon
Mengapung lembut di riak sungai
Lalu hinggap di daun jendela bertudung sepi
Aku terkejut setengah mati namun bersorak
Inilah kiranya fenomena terindah di dalam hidupku
Yang biasanya hanya berbentuk cerita dongeng pelelap tidur
Berupa klise yang amat sederhana
Mengalun lirih meresap menjalar ke telingaku
Dan hanya disumpal oleh keadaan
Yang tak pernah bisa lumat
Namun kini semua telah berubah
Serpihan salju itu telah memberikan sebuah energi baru
Sebuah ekstase baru
Yang meluap luap
Membakar gelora nadiku
Dan menghidupkan sesuatu yang telah mati dalam hidupku

RUMPUT BIRU

Melangkah riang menuju imaji
Akankah harapan terus meninggi
Manakala ku lihat burung kenari singgah
Berkepak lembut di semak biru
Merajut anyaman berbahan rumput
Berbalik terbang hendak membuat sarang
Kawanan lain pula di balik rimbunan
Muncul bergerombol menadah jari
Hendak minum di telaga biru
Akankah asa akan terus bersemi
Bila saat waktunya unggas unggas datang
Berkerumun di rumput biru
Yang segarnya terasa di pelupuk matamu

PERCIKAN LAPINDO

Kau lihat lautan lumpur itu
Ganas mengoyak desa
Tangis lirih bercampur derita:
“Rumahku mana?”
Pupus sudah harapan mereka
Hanya sebersit yang mereka punya
Ingin juga mereka berkata
Pengaduan ke penguasa
Tapi itu bagai tak ada
Mulut mereka telah kering
Namun alam tidak berpihak
Penguasa pun kian bertahta

Tuesday, December 16, 2008

KALIURANG DALAM SKETSA

Malam di Kaliurang bagai malam sepenuh asa
Bintang di langit bersinar sinar, lembut menyapa
Angin semilir mendayu di telinga
Membuat jiwa menjadi melayang menyapu angkasa
Ruh jiwa bergetar naik
Mengungkapkan segala rasa
Pandangan beredar ke gumuk yang lengang
Di lingkari sawah sawah dan riak air sungai
Air di pematang mengalir lengkap
Mengairi sengkedan tanah yang nampak gelap
Sungai pemijahan udang nampak kelam
Menyisakan bayang bayang buram di tepi jalan
Pejalan kaki mengayun langkah di redup lampu
Menikmati indahnya malam dan bintang gemintang
Menyusuri jalan setapak menuju bukit bukit cadas
Yang tinggi menjulang di kaki langit
Keadaan nampak sedikit sunyi dan sepi
Namun asa ini terus meninggi

JANGAN LASAK GELISAH

Wahai, kawan kawanku
Yang berjuang melawan ironi
Hendak menyingkap sebuah kebenaran
Yang sayangnya telah remuk dimakan derita
Jangan kalian lasak gelisah
Kalian sudah berjalan di atas rel yang benar
Kalian sudah melaju dan melesat jauh
Meninggalkan segala macam teori dan retorika
Yang hanya mampu diucapkan
Lalu menguap tiada sisa
Kalian harus maju
Dan terus berjuang
Sisihkan hadangan yang melintang
Demi mencapai kejayaan
Sesungguhnya, kawan kawanku
Kebenaranlah
Yang akan menang

HANGAT

Kepada para "peminum"....

Apakah kau berpikir tubuh mu akan hangat
Jika kau reguk sebotol alkohol?
Jika “ya”, engkau salah besar
Karena kau telah jalankan bisnis setan
Cobalah wedang jahe
Akan lebih nikmat
Dan aku tak berpromosi
Begitulah kenyataannya
Tapi jika kau pikir itu belum cukup
Cobalah berzikir kepada Allah
Akan lebih hangat
Dan aku tak sangsikan

Begitulah kenyataannya

BUNGLON

Ada masa dimana keinginan yang mengembang
Hadir di sisiku berubah warna
Tersilang selimpat merebut hati menguak pikir
Mencari arti kata sejati dalam diriku
Adakalanya pula dalam diriku bertukar arti
Silih berganti sepanjang waktu
Seolah ingin menguasai rongga kalbuku
Berebut mengatakan ini yang pas, itu yang pas
Saling tindih berbaku lantun di kepalaku
Hingga membuat bingung diriku
Seperti bunglon, yang mengubah warnanya menjadi hijau
Di dedaunan
Begitu cepat, begitu ringkas

BIAS MELAYANG

Sendiri ku disini
Sepi menyiksa hati
Terbayang lagi wajah wajah mereka
Rekan rekan ku semasa di sekolah
Bias mereka melayang
Terekam lagi ingatanku terhadap mereka
Sedikit rinduku terobati
Hendak kemana lagi jiwaku ini?
Apakah tetap di kamar ini
Di hinggapi sepi
Atau melayang ke imaji kawan kawanku
Yang luas lebar tak bertepi?
Tak tahu lagi aku
Kini aku sendiri di kamar ini
Sepi ini....
mencekikku

DIORAMA SUNYI

Kurasa sejumput waktu menjemput aku
Yang kian sunyi dimakan waktu
Apakah ada detak jam yang terus berbunyi menandakan hari
Sementara gelepar hari berlalu sesepi munggu
Bila kelebat sayap burung sirna di bukit bukit Kaliurang
Dan bunyi kuak tak ada lagi di gumuk batu
Adakah sepercik harapan yang tersisa di ruang dengarku
Ruang bisu yang terpaku menunggu waktu
Hari demi hari
Seolah berlalu melintas benakku
Aku yang terdiam menunggu jejak langkah
Yang entah mengapa selalu membeku di tempatku
Teredam derasnya derita dalam gulita
Memekik batinku tak tahu tuju
Terasa hatiku lelah menunggu hujan suaramu
Yang menderas membasahi genangan hatiku
Mengguyur bayangku sepanjang waktu

KUMBANG

Terlihat dalam kotak kotak kaca transparan

Puluhan kumbang kumbang diawetkan

Untuk suatu keperluan penelitian, kajian anatomi tentang hewan

Formalin di tubuhnya nampak kesat

Berisi cairan metanol yang menyengat

Kumbang kumbang itu ketika hidupnya pasti beraneka

Menempel di daun daun, hinggap di empulur batang sagu,

Hidup dalam rongga kayu atau melekat pada batang pisang

Ada yang menyerap cairan tanaman

Ada yang memakan jaringan daun tumbuhan

Ada pula yang memakan umbut kelapa

Kepak depan perisainya yang tebal

Memungkinkannya untuk bertahan dari ancaman pemangsanya

Warnanya yang berspektrum menjadi ciri khas

Dari setiap spesies

Yang memungkinkannya untuk mengelabui musuhnya

Hal ini pulalah kiranya yang membuat mereka tergeletak kaku

Di sekat sekat kaca

Dalam keadaan tak bernyawa

CAHAYA TASBIH

Aku bersila dan memuji rahmat Allah
Yang banyak tak dapat dihitung
Aku bersila dan layangkan istighfar
Mohon ampunan segala dosaku
Dalam gelapnya ruangan...
Dan sunyi yang larut
Aku hitung tiap saat
Lewat seuntai tasbih hijau zamrud
Tiba tiba ada pendar cahaya
Sementara mataku terpejam khusyuk
Ketika kubuka mata
Aku lihat cahaya tasbih berkilauan
Terang dan bersinar
Menerangi hati, menyejukkan jiwa

BUNGA KERTAS

Dalam kotak wadah kemasan barang
Berjejer dengan radio, pigura dan cat warna

Berdiri sebuah bunga kertas berwarna merah

Dengan tangkai sapu lidi berbalut kertas Asturo

Menyembul murung dari wadah plastik serupa tugu

Setiap mata yang memandang menjadi ragu

Mengapa dari sekuntum mawar kertas yang terpasang

Mengoyak sepi dari duri tajam

Yang terselip menyembul dari ruang wadah yang indah

Sungguh pun sepi menyiksa kalbu

Walau jalinan indah bunga itu takkan pernah layu

Mengapa pula bunga kertas itu

Begitu membekas di ingatan

Mengusik cerita yang indah berubah padam

Kur Injit 2009